Pengalaman Menggunakan Debian GNU/Linux


Hey guys! Hari ini aku mau berbagi pengalaman tentang menggunakan suatu distro linux, secara spesifik, yaitu Debian. 

Yup! Secara gak langsung, kalian yang menggunakan Ubuntu, Linux Mint, dan semua turunannya pasti sudah tidak asing dengan Debian karena dia adalah fondasi dasar yang diambil Ubuntu. Ubuntu mungkin sekarang sudah menjadi linux distro yang sangat populer dan bisa dikatakan lebih hebat daripada Debian, tapi kalau tanpa Debian, Ubuntu juga tidak akan hadir. Aku disini nggak akan membahas tentang asal usul dan sejarah Debian, kalian bisa lihat dari wikipedia atau Debian Wiki.

Pesan Pertamaku : Don't Expect Too Much

Apalagi jika kalian menggunakan Debian stable branch (codename: Stretch). Dari pengalaman aku install Debian dengan DE XFCE, ini desktop yang aku kurang lebih dapatkan.
Debian 9.6 default XFCE desktop, image courtesy by osdisc.com
Coba kalian install DE XFCE4 di Ubuntu atau Linux Mint, kalian pasti akan mendapatkan GUI XFCE yang sudah dikustomisasi berdasarkan standar Xubuntu atau Mint XFCE. Sudah ada tema bawaan, tema icon juga ada, dan yang pasti desktop XFCE kalian nggak tampak kusam seperti polosan XFCE repository milik Debian. Disini alasannya kenapa? Debian memberikan originalitas yang memang 100% karena filosofi mereka untuk memberikan sebuah operating system dan software yang gratis. Jadi, yang kalian lihat desktop aku di paling atas, itu ketika aku sudah berhasil mengutak atik dan memberikan heavy customization sesuai selera aku. 

Ada masalah lagi ketika aku harus menangani synaptic touchpad yang nggak bekerja di Debian 9.6 ini. 

Kalian bisa lihat kan, nggak ada pilihan "Enable tap to click" yang bisa di check seperti kalian rasakan ketika menggunakan Xubuntu / Mint XFCE. Waktu itu aku bingung banget karena mau gak mau aku sampai pakai mouse wireless untuk sementara waktu sampai aku bisa benerin masalah touchpad tersebut. Beruntunglah, Debian Wiki di internet sudah lengkap dengan solusinya, karena secara bawaan, touchpadku nggak cocok dengan driver opensource milik Debian. Jadi setelah aku benerin dengan menambah repository non-free di /etc/apt/sources.list, aku bisa install driver synaptic touchpad dan membenarkan settingannya dengan aplikasi terminal nano

Ada masalah lagi ketika aku hendak update repo. Ternyata, aku nggak bisa sekedar langsung ketik 
$ sudo apt-get update
yang ada ditanyain, "are you root?" pada terminal. Setelah aku telusuri, ternyata userku belum termasuk kedalam "sudoer" pada pengaturan sistem. Untungnya, lagi-lagi Debian Wiki yang membantu aku menyelesaikan masalah tersebut.

What I Like from Debian

Menggunakan distro yang diciptakan oleh Ian Murdock ini tentunya sesuatu yang aku suka sampai sekarang, biarpun aku sering melakukan distro hopping. Ada beberapa hal yang aku suka sejauh ini, dan itu adalah:
  1. Sangat Stabil
    Debian 9.6 (stable release) sangat sangat stabil dalam pengalamanku menggunakannya sebagai daily driver. Dia juga sangat ringan, pengalamanku dulu kalau pakai Xubuntu, ram idle pasti 500-600mb. Ketika pakai Debian, ram idle itu bisa cuma 400-450 mb dengan terkoneksi wifi. Lumayan kan? Dia juga jarang banget mengalami crash dan kernel panic seperti Manjaro. Nggak pernah ada masalah serius ketika aku menggunakan Debian.
  2. Repository yang Luas dan Solid
    Seperti Ubuntu, Debian punya repository contrib dan non-free, cuma seinget saya di Ubuntu namanya universe dan multiverse. Di dalam dua repository ini, terdapat banyak sekali package yang bisa kita download dan install sesuai kebutuhan kita. Debian itu tidak kaku terhadap pilihan menggunakan driver yang closed source, selama kita bisa konfigurasinya, pasti lancar saja, dan nggak mengganggu keseluruhan sistem kok. Dan versi aplikasi yang ditetapkan pada Debian, memang versi mutlak yang benar-benar aman dan stabil, sehingga mereka bisa mendukung komponen package pada sistem bawaan dan menghasilkan performa yang solid.
  3. Debian itu... Debian
    Ada satu hal yang aku rasakan dari Debian, yaitu dia itu unik. Dia tidak seperti Ubuntu dimana kita tinggal jalan dan menggunakan, Debian, lebih menuntut kita untuk terjun sendiri, benerin sendiri, dan pelajari pada dasarnya bagaimana linux, sebagai unix-like system itu bekerja. Kamu akan merasakan persamaannya ketika menggunakan sistem bsd seperti FreeBSD. Kita dituntut untuk mengetahui dasarnya, karena semua yang bersifat dari dasar pasti akan menuntun kita untuk ke tingkatan lebih tinggi, dan ini adalah poin yang aku tidak dapatkan selama ini menggunakan distro linux berbasis Ubuntu karena bagi Ubuntu, semuanya harus praktis dan siap untuk dipelajari, masalah benerin itu nanti.
  4. Hemat Kuota
    Jarang sekali ada update aplikasi atau kernel pada Debian, apalagi Debian stable. Pengalaman ini sangat berkontras saat aku menggunakan Manjaro, dimana ada update hampir setiap hari dan sebagai anak kuliahan dengan kocek terbatas untuk membeli paket kuota, aku harus batasin update maximal 2 minggu sekali. Belum lagi, masalah kernel panic itu seperti biasa banget pada Manjaro, sehingga aku harus ganti login dengan kernel versi bawaan dan uninstall versi update yang masih bermasalah dengan pacman.

What I Don't Like from Debian
  1. Ancient Software
    Menggunakan Debian stable memiliki satu syarat mutlak, yaitu software-software yang digunakan lama, tapi tidak outdated. Rata-rata linux distro sekarang menggunakan Kernel 4.13 - 4.16. Kasusnya, pada Debian 9.6, masih menggunakan kernel 4.9. Lumayan lama sih, aplikasi di dalamnya juga. Libreoffice masih pakai versi 5.2.7 biarpun di situs officialnya, mereka sudah menyatakan bahwa versi 6.0 sudah stabil. Bukan berarti software versi lama tidak bisa bekerja lho ya, cuma di versi baru pasti ada fitur-fitur baru juga yang kita pernah pakai pada linux distro yang lain. Gitu aja sih..
  2. Debian Installer
    Debian tidak menggunakan installer yang sama seperti Ubuntu, ia menggunakan installer bawaan Debian. Ada beberapa hal yang aku sendiri agak bingung ketika mau setting saat install Debian, seperti hostname, locale setting. Jadi, lucunya ini, ketika install Debian, aku juga sambil nonton video di youtube lewat hp sambil dengar penjelasan orang akan instalasi Debian. Jadi aku juga sambil memahami selagi sambil mengisi kolom yang perlu diisi dan membagi partisi. wkwkwkw. Debian installer ini juga tidak dijalankan dengan live desktop seperti most of Ubuntu derivative distros. If you guys know what I mean, deh.
  3. It Doesn't Work Like Ubuntu, Sometimes
    Debian tidak mengadopsi sistem PPA seperti Ubuntu, tapi dengan artikel-artikel pada internet dan Debian Wiki, sebenarnya kita bisa membuat Debian serasa seperti Ubuntu. Ketika menggunakan Debian, aku lebih berorientasi pada terminal dan synaptic package manager. Sementara dulu pas masih ehem, noob pakai Ubuntu, aku lebih sering utak-atik software center. Setelah berjuang memahami terminal apt command dan memahami keseluruhan debian bekerja, aku sendiri ga percaya bahwa aku sudah melakukan hal yang aku nggak akan pernah lakukan pada ubuntu. Sebenarnya mereka 11:12 kok, toh satu keturunan kan? Debian emaknya, Ubuntu anaknya.
    Ada lagi yang setiap kali kita download aplikasi dari internet, pasti pas disuruh pilih distro, ada pilihan Ubuntu dan Debian terpisah. Setelah aku pelajari, hal ini dipengaruhi oleh dependencies yang dimiliki Debian, dan Ubuntu versinya berbeda. Jadi, .deb file yang diciptakan untuk Ubuntu, belum tentu bisa bekerja pada Debian, dan vice versa.
 KESIMPULAN
Menggunakan Debian itu menantang. Karena apa? Pada dasarnya, aku merasa kemampuanku mengoperasikan dan mempelajari linux itu sudah meningkat dari sebelumnya. Sudah bosan aku dengan julukan beginner dan aku mulai merasakannya karena pada dasarnya, Debian bukan diciptakan untuk orang-orang awam. Dia lebih berorientasi kepada orang-orang yang menengah dalam kemampuan dan pengetahuannya akan Linux, dan ketika semua masalah itu sudah teratasi, Debian works like a charm. 

Perlukah kalian takut menginstall dan menggunakan Debian?

TIDAK!!

Try it now, or you guys will become beginner forever :)
Ini semua yang ingin aku bagikan kepada kalian. Stay GNU, Stay Linux, Stay Open Source guys!

Comments

Popular posts from this blog

Tips Sebelum Pindah ke GNU/Linux dan Alasanku Mengapa

Review Produk Glutamen : Part 2 "Hasil Pemakaian"